Selasa, 31 Maret 2009

FILM " DOA YANG MENGANCAM "

RESENSI FILM “ DOA YANG MENGANCAM “

Judul : Doa yang Mengancam
Sutradara : Hanung Bramantyo
Pemain : Aming, Ramzi, Titi Kamal, Zaskia Aditya Mecca, Cici Tegal, Jojon, Berliana Febrianti
Durasi : 110 menit

Apa jadinya jika doa yang kita panjatkan dan kita haturkan dengan segenap hati ini bukannya menolong tetapi malah sebaliknya. Memperkeruh suasana sekaligus mengancam hidup kita. Apa yang kita lakukan jika itu benar-benar menjadi kenyataan?
Semua itu akan terjawab dengan apik lewat film islami dengan judul: "Doa Yang Mengancam".

Film ini bermula dikisahkan dari seorang kuli angkut di pasar tradisional bernama Madrim (Aming S. Sugandhi) yang hidupnya pas-pasan dan juga wajah—yang dimiliki pun ikut pas-pasan pula. Tapi selain itu ia punya harta yang sangat tak ternilai dan bagus. Ia memiliki istri cantik nan jelita bernama Juleha (Titi Kamal). Namun karena hidupnya yang pas-pasan, banyak hutang, tak ada perubahan yang signifikan akhirnya ia ditinggal kabur oleh istrinya. Bukan itu saja ia juga di usir oleh sang pemilik kontarakan (Cici Tegal) dari rumah kontarkannya itu.

Saat itu pulalah konflik kehidupan Madrim semakin terpuruk dan kacau. Hingga suatu hari ketika ia dapat pertolongan ditampung bermalam di mushallah tempat kawan baiknya Kadir (Ramzi), teman Madrim yang menjadi penjaga mushola menyarankan agar Madrim mengingat Tuhan dan berdoa kepadaNya. Namun ia merasa doanya tak pernah terjawab. Dalam keputusasaan Madrim mengancam Tuhan akan berpaling kepada setan jika keinginannya tidak juga dipenuhi. Dia berjanji akan menyembah setan apabila doanya tidak dikabulkan dalam 3 hari.

"Ya, Allah bila doaku tak terkabulkan maka aku akan murtad dariMu...." Begitulah doa yang ia ucapkan ketika ia sangat frustasi ketika melihat keadaannya yang semakin terpuruk.

Hari demi hari terus berganti tapi kenyatan hidupnya tak ada tanda-tanda perubahan dari hasil doa yang tiap hari ia lakukan. Jungkang-jungking tiap hari tapi tak ada hasil. Hingga pada saat hujan disertai halilintar ia melangkah dengan gontai meninggalkan tempat tinggalnya tanpa tentu arah. Sampai-sampai kakinya mengarahkan ke sebuah tanah lapang yang hanya ditumbuhi rumput liar. Di tempat itulah ia makin menjadi-jadi menghujat serta mengutuk Sang Khalik dengan membabibuta tanpa menghiraukan halilintar bersahut-sahutan dan akhirnnya mengenai dirinya hingga tak sadar diri.

Dalam keadaan tak sadar dirikan ia ditolong oleh Pak Kades (H. Jojon) dan dikerubungi oleh masyarakat setempat. Ternyata Madrim tidak tewas malah sebaliknya ia mendapatkan “kebisaan” yang luar biasa itu. Bisa menerawang masa lalu dan masa depan hanya melihat foto saja. Itu terbukti saat ia menolong anak Pak Kades yang telah meninggalkan rumah setahun lebih dan berhasil.

Hingga suatu saat Madrim memiliki kemampuan untuk menerawang masa lalu dan masa depan seseorang hanya dengan melihat sebuah foto. Dari kemampuannya itu ia mendapatkan banyak uang dan kekayaan yang selama ini ia idam-idamkan.
Akhirnya karena "kebisaan" yang dimiliki oleh Madrim mempertemukan Pak Kades dengan anaknya di Jakarta yang sudah 1 tahun kabur dari rumah ia pun mendapatkan tawaran dari pihak polisi untuk memberitahukan para buronan yang sudah menjadi incaran polisi bertahun-tahun. Tidak sampai disitu karena "kebisaan” nya itu pun Madrim makin santer diberitakan. Hingga ada pihak lain yang mengambil untuk dari itu semua. Tak lain dari penjahat kelas kakap Tatra (Dedi Sutomo) yang memanfaatkan kebisaan Madrim itu.

Dengan berbagai rayuan dan bujukan akhirnya Madrim jatuh juga dalam perangkap penjahat kelas kakap itu. Uang dan tidur apartemen Madrim ia dapatkan dalam waktu seketika. Dan juga ia mampu membayar hutangnya di pasar sejak ia menjadi kuli panggul.

Tapi dalam kegelimangan itu Madrim merasa hidupnya tak berarti. Terlebih istrinya belum sempat ia dapat temukan kembali. Akhirnya ia pun berdoa dan meminta kepada Sang Khalik untuk dipertemukan kembali oleh istrinya itu.
Tantra berinisiatif untuk menyewa seorang pelacur kelas atas untuk menemani Madrim. Betapa kagetnya Madrim saat mengetahui bahwa pelacur itu adalah Leha, istri yang telah meninggalkannya. Malangnya itu adalah pertemuan terakhir kali kepada istrinya. Istrinya terjun dari apartemen—dan semua itu hasil dari ucapannya (doa) yang asal ucap itu.

Madrim merasa sangat terpukul dan memutuskan untuk membuang semua harta kekayaannya yang melimpah itu. Ia berlari ke padang ilalang dan berteriak memanggil petir untuk menyambar tubuhnya agar ia bisa kembali hidup normal seperti dulu. Hari demi hari ia menanti petir yang tak kunjung datang telah membuatnya lemas tak berdaya
Saat itu juga ia pun memutuskan diri untuk bunuh diri dan meminta kembali menjadi orang biasa di atas gedung apartemen yang tinggi. Namun dapat digagalkan oleh kawan baiknya Kadir saat ia memutuskan untuk mengakhir hidupnya.

Dari kejadian itu akhirnya Madrim sadar dan ia kembali menjadi orang biasa terlebih ia mendapati orang yang ia cintai sudah tiada meminta ia untuk kembali seperti semula. Dengan bantuan Kadir bisa juga membuat Madrim berkumpul dengan kawan-kawannya di tempat tinggalnya yang lama ketika ia menjadi kuli panggul. Sampai-sampai ia membangun rumah makan bersama kawan baiknya, Kadir dan ibunya (Hj. Nani Wijaya) di pasar. Selain itu juga ia mendapatkan penganti istrinya.


KOMENTAR

Tapi sayang dalam film ini--yang menurut saya begitu bagus dari penceritaannya tapi tidak sesuai dengan para pemain yang diperankan. Terlebih tokoh sentral (utama) difilm itu yang dilakonkan oleh Aming S. Sugandhi—komedian dan juga pentolan Extarvaganza itu tidak mendukung sama sekali dalam film tersebut. Terlebih melihat mimiknya itu yang membuat saya yang tadinya terhanyut merasakan haru birunya kehidupan Aming di filmnya itu jadi buyar. Malah saya senyum-senyum saat wajah Aming di close-up tepat pada bagian indera pencium. Membuat saya terpingkal-pingkal. Tertawa.


Ya, saya sama saja menonton lawakan slaptik yang sering dilakonkan oleh Aming S Sughandi di televisi. Seharusnya pesan moral dan hikmah yang disampaikan melalui film tersebut tidak membawa gereget di hati para penonton film tersebut—termasuk saya sendiri. Saya tidak merasakan hal itu. Malah sama saja saya menyaksikan Aming melawak.

Selain itu juga alur cerita yang disampaikan film ini terlalu lambat. Hanya membuat penonton jenuh dengan alur cerita yang semestinya tidak perlu ini ditampilkan ini divisualkan.. Terlebih ada adegan Aming jatuh di dalam pertujukan wayang orang ini mengingatkan saya dalam film Hollywod serta juga mengingatkan saya juga pada film Indonesia jaman baheula. Saat Aming berucap kepada istrinya. Loncatlah kalau kamu memilih yang kedua…Si Pahit Lidah! Entah benar atau tidak dari kenyataan itu tapi film ini sudah mewakilkan dari film islami yang lagi booming ini. Itu tak terlepas film ini diangkat dari cerita pendek (cerpen) yang sangat bagus sekali yang sudah dimuat di media massa.

HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL

Pesan film ini agar jangan kita asal mengucapakan (doa) yang tidak baik. Karena apa yang kita ucapkan adalah doa dan tentu itu akan fatal bila apa yang kita ucapkan itu yang tidak baik.

Film ini menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap doa-doa yang kita panjatkan. Pengabulan doa, ternyata dilakukan Tuhan dengan cara yang berbeda-beda; langsung, ditunda atau dengan bentuk lain. Sebagai manusia, kita harus sadar sepenuhnya bahwa semua yang kita dapati ini adalah anugerah dari Tuhan. Yang membedakan antara orang sholeh dengan tidak adalah sikapnya dalam menerima anugerah itu. Film ini mengajarkan kita tentang itu.
“Usaha tanpa doa adalah kesombongan, doa tanpa usaha adalah kesia-siaan“

Nb:

Ternyata film ini didedikasikan oleh sutradaranya untuk sang kekasihnya....My Noura....Tak lain Saskia A. Mecca kekasih Hanung Bramantyo sekaligus figuran dalam film ini.