Jumat, 26 Desember 2008

IJTIHAD

BAB I
IJTIHAD

1.APA IJTIHAD ITU ?

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’” artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Jenis-jenis ijtihad

1. Ijma'

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2. Qiyâs

Beberapa definisi qiyâs' (analogi) :
1.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

3. Istihsân

Beberapa definisi Istihsân:
1.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...

4. Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

5. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

6. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

7. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

2.BAGAIMANAKAH MUHAMMADIYAH DAN IJTIHAD ?

Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respons yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

3.BAGAIMANA IJTIHAD DALAM KONTEKS PEMBAHARUAN DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT ?

Pelanggaran hak asasi manusia, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, terjadi di berbagai penjuru dunia. Kekerasan, penindasan, dominasi, eksploitasi, dan tindakan lainnya yang merendahkan harkat dan martabat manusia, semakin meningkat dan beraneka ragam bentuknya. Hal ini menimbulkan keprihatinan dan menjadi tantangan bagi umat beragama, karena semua agama mengajarkan norma-norma luhur untuk membangun kehidupan individu dan sosial yang bermartabat.
Banyak konsep yang telah dikemukakan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik, namun sebagian belum disertai dengan penjabaran langkah-langkah untuk mewujudkannya, sehingga konsep terhenti dalam dataran teoritis,dan belum banyak memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, tampaknya Muhammadiyah merespons carut- marutnya peradaban manusia di era global ini dengan melakukan ijtihad untuk membangun peradaban yang luhur. Hal ini terlihat dari tema yang diangkat dalam Muktamar Ke-45, yakni "Tajdid Gerakan Pencerahan untuk Peradaban". Sedangkan Muktamar Aisyiyah memilih tema: "Gerakan Dakwah Sosial Menuju Masyarakat Madani".
Kedua tema ini terkait erat dengan pembangunan kultur masyarakat yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Apakah muktamar nanti akan menghasilkan rumusan yang siap pakai dan benar-benar direalisasi, atau sekadar konsep yang terhenti pada tataran teoritis? Tentu banyak faktor yang ikut menentukan jawabannya.
Untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik, Muhammadiyah dan Aisyiyah telah mempunyai amal usaha yang tersebar di masyarakat dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan. Untuk meningkatkan kualitas usaha tersebut, telah dimiliki pula konsep dakwah jamaah dan dakwah kultural, yang menggunakan wawasan dan bentuk budaya sebagai media dakwah.
Dari tema Muktamar Aisyiyah Ke-45, secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan masyarakat yang akan dituju adalah terbentuknya masyarakat madani. Hal ini sinkron dengan pencerahan peradaban yang akan dilakukan Muhammadiyah, karena dalam konsep masyarakat madani mempunyai karakteristik yang memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, pluralisme, dan transparansi. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dari sebuah peradaban yang luhur.
Untuk mewujudkan masyarakat madani, tentu bukan pekerjaan yang ringan, karena di era globalisasi ini terjadi gesekan dan tarik ulur antara nilai agama dengan budaya, sebagai dampak negatif dari kemajuan informasi dan komunikasi,yang sulit dibendung.
Di samping faktor eksternal, dari sisi internal, tampaknya perlu ada pembenahan agar tercipta pemahaman terhadap pemikiran, langkah dan gerak untuk mewujudkan tujuan persyarikatan.
Muhammadiyah dengan konsep dakwah jamaah dan dakwah kulturalnya, sesungguhnya telah mempunyai alat untuk membangun masyarakat madani di Indonesia. Sayangnya, konsep itu masih terhenti pada tataran teoritis, karena adanya polemik internal yang berkisar pada "status budaya lokal itu termasuk dalam kategori TBK (takhayul, bid'ah, dan khurafat) atau tidak. Hal semacam ini menimbulkan kegamangan pada sebagian anggota persyarikatan atau organisasi otonomnya, untuk melakukan dakwah kultural,yang menggunakan media budaya lokal untuk membumikan ajaran Islam.
Perbedaan paradigma kebudayaan yang masih menimbulkan kontroversi semacam ini, perlu dicari titik temunya,sehingga konsep dakwah kultural dapat dipahami dan direalisir. Untuk itu, fungsi ijtihad sangat signifikan untuk menjawab persoalan kontemporer yang muncul di masyarakat, sehingga ruh ijtihad yang menjadi sumber pembaharuan tidak akan redup,dan berdampak pada tumbuhnya dinamika dalam menyikapi isu-isu global.
Secara riil, tampaknya telah banyak warga Muhammadiyah yang secara individu melaksanakan ijtihad dalam berbagai persoalan kontemporer. Namun sering dilanda keraguan, karena menunggu petunjuk atau keputusan organisasi, sehingga terjadi keterlambatan dalam menyikapi persoalan baru yang bergulir begitu cepat di era global ini.
Budaya memiliki sifat dinamis, dan selalu mengalami perubahan. Karena itu, Islam memberikan prinsip kebebasan dan selektivitas dalam menghadapi produk budaya. Dari mana pun datangnya budaya itu, boleh diterima asal tidak bertentangan dengan asas teologi kebudayaan Islam (tauhid) dan asas kemanfaatan budaya (rahmatan li al-'alamin).
Ulama fikih telah memberikan pula perangkat metodologisnya melalui konsep 'urf yang mengakui adat dan budaya setempat sebagai bagian dari hukum Islam (al 'adah muhakkamah ). Apabila merujuk pada sejarah masa Rasulullah, maka ditemukan pula pengakuan terhadap eksistensi tradisi atau adat kesukuan / budaya lokal, sebagaimana tersirat dalam Piagam Madinah, pasal 2-10. Kiranya hal ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari jawaban dari persoalan budaya yang selalu berubah, dan membutuhkan langkah cepat dan tepat untuk mengantisipasinya, sehingga Muhammadiyah dan Aisyiyah akan lebih berperan dalam ikut menyelesaikan persoalan budaya, yang menghambat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia.
Muhammadiyah berjuang menggarap / mengolah secara langsung akan maxyarakat dengan memberikan pengertian dan membentuk kesadaran masyarakat agar masyarakat mau menerima dan melaksanakan ajaran dan ketentuan-ketentuan Islam bagi seluruh aspek kehidupannya. Sedang untuk menghadapi perjuangan dalam bidang politik kenegaraan ( perjuangan politik praktis ). Muhammadiyah berpendapat bahwa haruslah dilakukan dengan alat perjuangan lain ( alat perjuangan politik seperti partai politik ) yang ada di luar dan di samping organisasi Muhammadiyah yang dapat memperjuangkan cita-cita kenegaraan yang sesuai dengan faham dan fisi Muhammadiyah. Dalam hal itu untuk kemasyarakatan perjuangan Muhammadiyah memiliki kesadaran dan pandangan / orientasi politik.
Menentukan teori strategi dan taktik perjuangan bukannya termasuk sesuatu yang diatur / ditentukan secara mutlak oleh Agama, tetapi hal ini adalah seauatu yang merupakan pemikiran dan perhitungan yang termasuk masalah dunia.
Dalam bidang berjuang menghadapi bidang masyarakat, Muhammadiyah membagi manusia / masyarakat menjadi 2 bagian yaitu :
1.yang belum mau menerima ajaran Islam disebut Ummat Dakwah,
2.yang sudah mau menerima ajaran Islam disebut Ummat Ijabah.

Terhadap Ummat Dakwah, kewajiban Muhammadiyah ialah berusaha sampai mereka mau menerima kebenaran ajaran Islam setidak-tidaknbya mereka mau mengerti dan tidak memusuhinya. Sedang terhadap Ummat Ijabah, kewajiban Muhammadiyah ialah menjaga dan memelihara agama mereka, serta berusaha memurnikan dan menyempurnakannya dalam ilmu dan amalnya. Senuabya itu dilaksanakan dengan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar yang sifatnya tabsir ( menggembirakan ), tajdid ( pembaharuan ) dan islah ( membangun ).
Seperti telah ditegaskan dalam Matan Keyakinan dan cita-cita hidup bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan yang berasas Islam bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sesuai dengan cita-cita itu, bagi Muhammadiyah masyarakat adalah merupakan lapangan dan area geraknya, yang secara sunguh-sungguh akan diperkembangkan ke arah kehidupan yang sejahtera naungan ridho illahi. Dalam memperkembangkan masyarakat ke arah kehidupan sejahtera itu Muhammadiyah tekah bertekad untuk menggunakan system Dakwah Jama’ah, yaitu proses dakwah yang menggunakan system pendekatan secara langsung kepada masyarakat melalui problema-problema yang tengah dihadapi oleh masyarakat untuk dikembangkan ke arah kehidfupan yang sejahtera.
Di samping itu dengan tetap berotientasi kepada kesejahteraan masyarakat, Muhammadiyah juga bertekad untuk meningkatkan pelaksanaan pola tugasnya seperti yang dirumuskan dalam Anggaran Dasar pasal 4, sehingga kehadiran Muhammadiyah dalam seluruh kehidupan benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.

BAB II
GERAKAN MUHAMMADIYAH

1.BIOGRAFI PENDIRI MUHAMMADIYAH

Sesuai dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah, Bab 2 Pasal 2 tentang pendiri muhammadiyah yang isinya :
Pasal 2
Pendiri

Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak terbatas.



Nama kecil Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks al-Qurân dalam kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998).


KHA Dahlan adalah seorang tokoh yang mempunyai kepribadian yang :
-luas ilmunya
-tajam pikirannya
-mempunyai keberanian
-ikhlas
-jujur
-mempunyai jiwa pembaharu
-supel dalam pergaulan
-tokoh yang pada waktu itu telah menjumpakan ilmu-ilmu agama dengan kemajuan tekhnologi di Lembang, untuk mencocokkan dengan ilmu hisab yang telah dimilikinya.

Kepustakaan beliau antara lain adalah :
-Majakah Al Urwatul Wusqo
-Risalah Tauhid, karangan Abduh
-Kitab Fibil Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah
-Al Islam wan Nasroniyah karangan Abduh
-Kanzul Ulum, Dairotul Ma’arif karangan Farid Wajfi
-Kitab-kitab hadist karangan Ulama Hambali.

Bila kita lihat kitab-kitab sehari-hari yang digumuli oleh beliau, semuanya merupakan kitab yang menggemakan pembahatuan dan kebangkitan Islam, maka tidak mustahil bahea beliau muncul sebagai Bapak Pembaharuan / Kebangkitan Islam di Indonesia.
Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).
Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtihâd dan juga inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan, digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).


2.BERDIRINYA MUHAMMADIYAH BERIKUT HAL-HAL YANG MELATAR BELAKANGI BERDIRINYA

Faktor Subyektif yang sangat kuat , bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA . Dahlan terhadap Al Qur'an dalm menelaah , membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KHA Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat .Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 :
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang - orang yanag beruntung ".
Memahami seruan diatas , KHA Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada malaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.


Latar belakang lain karena situasi pada waktu itu diliputi dengan:
-Taqlid yang sebegitu membudaya pada masyarakat Islam,
-Khurofat, Isrok telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian aqidah sudah tidak tampak lagi,
-Bid’ah yang terdapat pada pengalaman ibadah,
-Kajemuan berfikir dan kebodohan umat,
-Sistem pendidikan yang sudah tidak relevan,
-Timbulnya khas elite intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam,
-Rasa rendah diri yang ada pada umat Islam,
-Tidak ada program perjuangan ummat yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam,
-Tidak ada persatuan ummat
-Kemiskinan ummat, bila dibiarkan tanpa usaha mengurangi, akan sangat berbahaya sekali untuk dirongrong akidahnya oleh golongan lain yang ekonominya kuat,
-Politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan Islam di Indonesia,

Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu banyak faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai pakar dan penulis mengemukakan teori dan alasan untuk menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang mereka yakini kebenarannya.
Di antara nama tersebut misalnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menyebutkan paling tidak ada empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu:
1.kehidupan beragama yang tidak murni,
2.pendidikan agama yang tidak efisien,
3.kegiatan para misionaris Kristen, dan
4.sikap masa bodoh dan anti agama dari kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985).


Sementara itu, Alwi Shihab dalam bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih tetap diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, muncul dua pandangan utama yang pada umumnya diterima.
1.Pandangan pertama, mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20.
2.Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa.

Meskipun kedua faktor di atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat faktor lain yang sama pentingnya yang terabaikan dari pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta pengaruh besar yang ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana Indonesia faktor ini dipandang tidak penting, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912.
Dari pendapat yang dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yang paling dominan yang menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, dan kegiatan para misionaris Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti: kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang mudah menjadi sasaran garap kaum missionaris, karena mereka adalah kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah.
Sementara itu, menyoroti tentang persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan dan pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yang diarahkan kepada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, ia terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan ide-ide pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membangun (konstruktif). Para aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang agak ironis: mengapa organisasi yang dahulunya bebas dan leluasa bergerak, akhirnya harus terjebak dalam liku-liku (mekanisme) birokrasi organisasi yang diciptakannya sendiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu harus diresponi secara positif agar organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap menjadi “watak dasar” Muhammadiyah.
Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).
Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern Indonesia, karena gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan kembali kaum Muslimin di Indonesia.

3.LAMBANG MUHAMMADIYAH

Sesuai dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah, Bab 2 Pasal 5 tentang lambang muhammadiyah yang isinya :

Pasal 5
Lambang

Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh )


Warna putih : melambangkan kesucian / keberanian
Warna hijau : melambangkan kesuburan / kemakmuran
Matahari : memancarkan cahaya
Kalimat Syahadad : perjuangan Islami


4.MAKSUD DAN TUJUAN MUHAMMADIYAH

Sesuai dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah, Bab 3 Pasal 6 tentang maksud dan tujuan muhammadiyah yang isinya :

Pasal 6
Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yaitu mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang ingin diwujudkan itu Muhammadiyah memiliki arah yang jelas dalam gerakannya.
Cita-cita ideal yang ingin diwujudkan Muhammadiyah terkandung dalam rumusan maksud dan tujuan, yakni “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (Bab III. Pasal 6). Sering muncul pertanyaan seputar makna atau kandungan isi dari maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut. Apakah yang dimaksudkan dengan kalimat “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam” itu? Apa pula, dan ini lebih sering dipertanyakan, yang dimaksud dengan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” itu? Dua pertanyaaan yang elementer, tetapi memang sangat penting untuk diketahui dan dipahami khususnya oleh anggota Muhammadiyah. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu diketahui konteks lahirnya perumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut, yang kedua substansi atau isinya dengan merujuk pada pemikiran-pemikiran yang selama ini berkembang dalam Muhammadiyah.
Jika dilacak pada rumusan Anggaran Dasar (Statuten) Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 hingga Muktamar ke-45 tahun 2005, Muhammadiyah telah menyusun dan melakukan perubahan Anggaran Dasar (AD) sebanyak 15 (lima belas) kali yaitu pada berturut-turut pada tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Adapun untuk Anggaran Rumah Tangga (ART) sebanyak 8 (delapan) kali dimulai dan berturut tahun 1922, 1933, 1952, 1961, 1967, 1969, 1987, 2000, dan 2005. Dari kandungan isi AD/ART Muhammadiyah tersebut ditemukan data bahwa rumusan tujuan mewujudkan/terwujudnya “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” ditetapkan pada AD tahun 1946, sedangkan sejak berdirinya sampai awal tahun kemerdekaan Indonesia tersebut tidak ditemukan rumusan tujuan sebagaimana dimaksud.
Dari data yang dihimpun Mh. Djaldan (1998), ditemukan pula bahwa rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sebagaimana dimaksud, mengalami perubahan redaksional yang sedikit berbeda yakni, tahun 1946 dan 1959, serta perubahan isi pada tahun 1985. Pada AD tahun 1946 tertera kalimat “Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, sementara pada AD tahun 1959 berbunyi “Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Pada tahun 1985, maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan isi menjadi “Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata‘ala”. Penggantian tahun 1985, terjadi karena pemaksaan rezim Soeharto di era Orde Baru yang melalui Undang-Undang Tahun 1985 yang mengharuskan seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan untuk berasas (tunggal) Pancasila, sehingga Muhammadiyah diharuskan selain mengganti asas Islam yang telah dirumuskan sejak tahun 1959 menjadi asas Pancasila, sekaligus mengubah rumusan tujuannya melalui proses yang sangat alot hingga menunda muktamarnya selama dua tahun.
Dalam Statuten (Anggaran Dasar) pertama tahun rumusan maksud/tujuan Muhammadiyah belum mengarah ke format masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, kendati spiritnya boleh jadi sama. Pada Statuten 1912 artikel (pasal?) kedua dinyatakan sebagai berikut:
“Maka perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarluaskan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan
b. Memajukan hal Agama kepada anggota-anggotanya.” Agar memperoleh gambaran yang lengkap mengenai rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah dalam rentang perubahan AD/ART Muhammadiyah tersebut berikut penulis cuplikan dalam tabel : Maksud dan Tujuan Muhammadiyah tahun 1912-2005

NO. TH. RUMUSAN MAKSUD DAN TUJUAN MUHAMMADIYAH
1 1912 “Maka perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarluaskan pengajaran Agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan
b. Memajukan hal Agama kepada anggauta-anggautanya
2 1914 Maksud Persyarikatan ini yaitu:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan
b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.
3 1921 Maksud Persyarikatan ini yaitu:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan
b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.
4 1934 Hajat Persyarikatan itu:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland, dan
b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).
5 1941 Hajat Persyarikatan:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Indonesia, dan
b. Memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).
6 1943 Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:
a. hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya,
b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum,
c. hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.
7 1946 Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
8 1950 (1) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
9 1950 (2) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
10 1959 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
11 1966 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
12 1968 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
13 1985 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata‘ala.
14 2000 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
15 2005 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.


Sumber: Hasil pengolahan dari himpunan Mh. Djaldan Badawi, Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah 1912-1985 (Yogyakarta: Sekretaria PP Muhammadiyah), 1998. Dan dokumen PP Muhammadiyah untuk tahun 2000 dan 2005.

Perubahan substansi dan formulasi tujuan Muhammadiyah tersesbut tampaknya menggambarkan perkembangan cara berpikir dan konteks yang dihadapi Muhammadiyah pada setiap babakan sejarah tertentu. Menurut Prof. KH. Farid Ma’ruf dalam buku Pendjelasan Tentang Maksud dan Tudjuan Muhammadijah (Jakarta: Penerbit Yayasan Santakam, 1966, hal. 8) bahwa “perubahan yang bertingkat-tingkat seperti tersebut di atas itu membayangkan dengan jelas, kemajuan hasil yang telah dicapai oleh Muhammadiyah dengan bertingkat-tingkat, dan juga menggambarkan dengan nyata perkembangan berpikir dari para pemimpin dan anggauta-anggautanya yang tambah lama semakin maju juga.” Jadi, terdapat sistematisasi pemikiran yang lebih maju dari perubahan formulasi tujuan Muhammadiyah sebagaimana dalam pemikiran-pemikiran formal lainnya.
Namun, kendati terjadi perubahan formulasi tujuan, terdapat konsistensi yakni ruh atau spirit gerakan yang tetap konsisten untuk mengemban risalah Islam dan orientasi pada usaha menyebarluaskan dan memajukan kehidupan sepanjang kemauan ajaran Islam melalui lapangan kemasyarakatan dan tidak melalui jalur kekuasaan-negara. Dalam penjelasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tafsir Anggaran Dasar Muhammadijah Lengkap dengan Muqaddimahnya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1954, hal. 16 ) mengenai perubahan redaksional maksud dan tujuan Muhammadiyah itu dikemukakan sebagai berikut: “Kalau orang mengikuti perkembangan Muhammadiyah melalui berbagai aman yang berlainan coraknya, adalah memang sedemikian harusnya mencantumkan maksud dan tujuannya. Akan tetapi, intinya tetap, mewujudkan ISLAM bagaimana dan apa mestinya

5.AUM ( AMAL USAHA MUHAMMADIYAH )

Sesuai dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah, Pasal 7 tentang lamal usaha muhammadiyah yang isinya :

Pasal 7
Usaha

(1) Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.
(2) Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
(3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.

Amal Usaha Muhammadiyah meliputi :


a.Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usaha-usaha persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya semua bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan Tujuan Persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu sebaik-baiknya sebagai misi dakwah75.
b.Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai Badan Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara keseluruhan sebagai amanat umat yang harus dutunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya76.
c.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat77.
d.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut. Status keanggotaan menjadi sangat perlu bagi pimpinan agar yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan-kepentingan persyarikatan.
e.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam mengemban amanah persyarikatan. Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi managemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
f.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengemangkan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi sangat perlu agar amal usaha senantiasa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat) guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman.
g.Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.
h.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan / kekayaan kepada pimpinan Perysrikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
i.Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
j.Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.
k.Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas dan ibadah.
l.Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak silaturrahmi dan membangun hubungan-hubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha masing-masing.
m.Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktifitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan - kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Quran dan al- Sunnah, dan bentuk-bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya yang ertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal usaha Muhammadiyah

Dasar-dasar penyelenggaraan Amal Usaha Muhammadiyah :
1.Dalam rangka memenuhi mengamalkan ibadat kemasyarakatan.
2.Dalam rangka ikut berprestasi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
3.Dalam rangka ikut serta memberikan nafas / sibghah Islam pada tiap-tiap amal usaha.
4.Terpanggil untuk menegakkan agama Allah.
5.Dalam rangka ingin ittiba’ nabi dalam mengelola amal usaha.
6.Dalam rangka disiplin dan tertib berorganisasi.

Macam-macam Amal Usaha Muhammadiyah :
1.Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
Didirikan / mulai diadakan pada tanggal 14 Juli 1923. Ketua pertama M. Ng. Joyosugito yang kelak keluar kemudian menjadi ketua Ahmadiyah Lahore. Tugas Majlis PP dan K Muhammadiyah didasarkan surat Keputusan PP Muhammadiyah No. 5/PP/74. Tanggal 3 Rajab 1354/ 22 Juli 1974.
Bentuk-bentuk sekolahan :
Sekolah umum : mulai SD sampai perguruan tinggi.
Sekolah Kejuruan : Teknik, Ekonomi, Kesehatan / Perawatan.
Madrasah : Ibtidaiyah sampai Institut-institut agama Islam dengan berbagai fakultas-fakultas agama.
2.Majlis PKU Muhammadiyah
Landasan kerja SK. PP Muhammadiyah No.5//PP/74 tanggal 3 Rajab 1394 / 22 Juli 1974.
Kegiatan amal usaha :
-Panti Asuhan Muhammadiyah
-Poliklinik Muhammadiyah
-Rumah Bersalin / BKIA
-Penyuluhan KB, yang berorientasi atas batas-batas ajaran Islam
-Rumah Sakit Islam ( RSI Jakarta, RS PKU Yogyakarta, RS Roemani PKU Muhammadiyah Semarang, dll )
-Pendidikan Keterampilan Menuju Keluarga Sejahtera.
3.Kaum Aisiyah
Didirikan pada tahun 1917 dengan sirestui secara langsung dalam berdirinya oleh KHA Dahlan, KH Muhtar, Ki Bagus Hadi Kusumo. Ketua pertama adalah Siti Bariyah. Tokoh wanita lain diantaranya Badilah Zubair, Aisiyah Hilal, Zahro Mucsin, dll. Kegiatan-kegiatannya meliputi tabligh dan kursus-kursus seperti Pendidikan taman Kanak-kanak dan Pendidikan khusus Keputrian. Aktivitas kegiatan kewanitaan dalam meningkatkan peranan wanita sesuai dengan ajaran Islam.
4.Majlis Tabligh
Landasan kerja SK PP Muhammadiyah No.5//PP/74/3 Rajab 94/22 Juli 1974. Kegiatan adalah Tabligh, Kadernisasi Korps Mubakkigh, penerbitan brosur/ buku penyiaran agama Islam, Simposium/ diskusi/ seminar dan dakwah.

6.PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH

Memahami MUHAMMADIYAH bukanlah memahami organisasi dalam pengertian administratif yang bersifat teknis, namun memahami Muhammadiyah haruslah sebagai gerakan Islam atau gerakan keagamaan (religious movement) yang terkandung didalamnya sistem keyakinan (belief system), pengetahuan (knowledge), organisasi (organization) dan praktik-praktik aktifitas (practices activity) yang mengarah pada tujuan (goal) yang dicita-citakan, begitulah Haedar Nashir menegaskan.
Sebelum memahami itu semua maka kita perlu melakukan analisa sejarah pendirian Muhammadiyah, pandangan-pandangan generasi awal Muhammadiyah (assabiqunal awwalun) serta perkembangan Muhammadiyah dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana sesungguhnya Muhammadiyah pada awal didirikannya? Bagaimana pandangan-pandangan (paradigma) pendiri Muhammadiyah dan generasi awal pada waktu itu? Bagaimana pula hubungan Muhammadiyah dalam kontes ke-Indonesiaan? Pertanyaan ini penting untuk dijawab dan dijelaskan agar tidak kehilangan orientasi kesejarahan, serta tidak terjebak pada analisis birokratisme dalam memahami organisasi.

Pendirian Muhammadiyah

Muhammadiyah dikenal sebagai Gerakan Pembaharu, bukanlah asal sebut namun memiliki akar sejarah yang kuat. Kyai Haji Ahmad Dahlan yang masa mudanya bernama Muhammad Darwis sebagai pendiri Muhammadiyah, pada masa mudanya sudah dikenal sebagai seorang yang haus akan ilmu, sehingga menuntunnya untuk belajar ilmu falak pada Kyai Dahlan (Semarang), Kyai Saleh Darat (Semarang) dan Syaikh Muhammad Djamil Djambek (Bukit Tinggi). Ahmad Dahlan juga seorang yang aktif membaca jurnal pada waktu itu salah satunya terbitan Kairo yaitu Al-Manar, yang didalamnya memuat ide-ide pembaharuan dari Muhammad ‘Abduh, yang kemudian sangat kental mempengaruhi ide dan gagasan Ahmad Dahlan. Pada usia 15 tahun Muhammad Darwis menunaikan ibadah Haji yang beliau lanjutkan dengan menuntut ilmu disana. Dalam masa inilah Muhammad Darwis berinteraksi lebih intens dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Ide-ide pembaharuan pada waktu itu adalah reformasi paham keagamaan yang menekankan pada purifikasi (pemurnian) ajaran-ajaran Islam, lebih lanjut pandangan pembaharuan juga merambah pada ide tentang mobilitas sosial dan aktifitas ekonomi, serta keterbukaan terhadap ide yang berasal dari Barat, sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abduh bahwa orang Islam hanya mengambil kembali apa yang dahulu mereka berikan kepada Barat. Ide lain dari ‘Abduh adalah dalam hal memandang Akal dalam hubungan dengan Islam, ‘Abduh berpendapat bahwa ajaran Islam didasarkan pada rasionalisme dan kekuatan akal. Rasionalisme dalam pemikiran ‘Abduh menyebabkan ia menolak taqlid dan menerima penafsiran (ta’wil) berdasarkan akal ketimbang menerima terjemahan literal mengenai sumber-sumber agama. Paradigma yang mendasari ide pembaharuan dalam dunia Islam didasarkan pada argumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang menjadi dasar kehidupan modern.
Muhammad Darwis sepulang dari Mekkah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan berbekal ide pembaharuan, yang tidak hanya berputar pada wacana namun Ahmad Dahlan sangat kreatif dalam menerjemahkan pesan suci dalam tataran praksis. Ahmad Dahlan sejak itu sangat aktif dalam mengajarkan ajaran Islam pada masyarakat khususnya pemuda di lingkungan kraton, yang dari inilah menjadi bibit Pendidikan dalam Muhammadiyah. Dalam pergerakannya –karena membawa pembaharuan– Ahmad Dahlan sempat dituduh kafir dan sesat, sebagai contoh ketika Ahmad Dahlan berbekal ilmu falak yang dipelajarinya memahami bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia yang benar bukan ke arah barat lurus, namun agak melenceng ke kanan. Sebagai contoh lain bahwa Ahmad Dahlan sangat terbuka terhadap ide-ide dari Barat, pada waktu itu Ahmad Dahlan dengan memakai model pakaian yang sering dipakai oleh kompeni, sehingga dengan mudahnya orang mendasarkan pada dalil “barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari kaum itu” dan menuduh Dahlan sebagai orang kafir. Juga ketika model pendidikan yang dipakai oleh Ahmad Dahlan yaitu dengan metode klasikal dan menggunakan alat tulis, meja dan kursi, serta dengan kurikulum ilmu umum (ilmu bumi) yang saat itu pendidikan ala Belanda-lah yang memakainya.
Dahlan akhirnya memahami bahwa Umat Islam Indonesia khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya sedang mengalami kemiskinan, baik dalam hal harta benda serta terutama miskin ilmu pengetahuan. Hal inilah yang memotivasi Dahlan untuk mendirikan Sekolah untuk pribumi dengan model pendidikan yang dibawa oleh para penjajah pada waktu itu. Sekolah inilah yang menjadi tempat persemaian bibit-bibit pembaharuan Islam di Indonesia. Untuk menjaga agar gerakan lebih terkoordinir dan berkelanjutan, atas usul muridnya, akhirnya Ahmad Dahlan mendirikan gerakan yang diberi nama Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M. Latar belakang sosiologis pada waktu itu juga adalah bahwa masyarakat dalam keadaan “berkesadaran magis”, kentalnya TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) juga menjadi tantangan Muhammadiyah untuk melakukan penyadaran umat pada waktu itu.
Corak pemikiran Ahmad Dahlan disebut Amin Abdullah sebagai “faith in action”, keyakinan yang termanifestasikan dalam gerak praksis, atau Abdul Munir Mulkhan menyebut paradigma Ahmad Dahlan adalah rasional-metodologis, ajaran agama dipahami secara rasional dan diterjemahkan secara motodologis dalam menjawab permasalahan umat. Pemahaman tersebut berangkat dari cerita ‘legendaris’ surat Al-Ma'un, dimana ketika para santri-nya telah balajar Al-Qur’an dan sampai pada surat Al-Ma'un, namun santri-santrinya merasa ‘kecewa’ karena pelajaran Kyai tidak dilanjutkan pada surat selanjutnya, namun berhenti pada surat itu. Akhirnya para santri bertanya “Mengapa kami tidak dilanjutkan ke surat Quraisy, padahal kami telah lama hafal?”, dijawab oleh Kyai “Apakah engkau semua benar-benar telah hafal surat Al Maun itu?”, “Sudah, Kyai”, “Apakah sudah dimengerti isinya?”, “Sudah Kyai”, kemudian Kyai bertanya lagi “Apakah engkau semua sudah mengamalkan isi surat Al Ma’un tersebut?”, “Belum Kyai, dan … Bagaimana caranya mengamalkan surat tersebut, Kyai?”, dijawab oleh Kyai Dahlan “Nah, kalau belum engkau amalkan, itu namanya belum ‘faham’ isinya, maka engkau belum perlu pindah mengaji surat selanjutnya. Kalau engkau semua telah mengamalkan surat Al-Ma’un, InsyaAllah besok akan saya naikkan ke surat Quraisy. Maka setelah engkau pulang dari sini nanti, carilah orang-orang terlantar, kaum duafa’, ambil mereka sebagai anggota rumahmu, entah sebagai pembantu atau sebagai ‘anggota keluargamu’ tetapi dengan syarat, ajarilah mereka menjahit atau membatik atau ketrampilan lainnya. Setelah bisa nanti, biarlah mereka memilih, masih ikut kamu dalam keluargamu atau mereka ingin berdiri sendiri mencari nafkah dengan ketrampilan yang telah mereka miliki tadi. Bersediakah engkau semua mengamalkan isi ayat yang telah engkau hafalkan itu?” konon sepulang dari pertemuan itu para santrinya langsung mengamalkan isi surat tersebut sebagai bentuk ‘kefahaman’ atas ayat Al Qur’an.
Munir Mulkhan menyimpulkan garis besar pokok pikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai berikut:
1. Persatuan umat manusia adalah prinsip utama kebahagiaan dan merupakan induk segala ilmu yang harus dipimpin dengan metode alqur’an;
2. Perpecahan umat manusia disebabkan:
(a) sempitnya wawasan pemikiran yang disebabkan rendahnya pengetahuan;
(b) terjebak pada perdebatan lisan dan mengabaikan tindakan nyata;
(c) ekslusifisme atau wawasan fanatisme golongan yang sempit;
3. Persatuan umat manusia akan diperoleh dengan jalan:
(a) memahami kondisi obyektif umat;
(b) bekerja atas kemampuan sendiri;
(c) tidak tergesa menolak atau menerima sesuatu sebelum memahami;
4. Kebenaran diperoleh melalui:
(a) bersikap terbuka terhadap penemuan baru;
(b) berfikir kritis, luas dan dalam;
5. Penolakan kebenaran sebagai akibat:
(a) kebodohan;
(b) sikap ekslusif;
(c) fanatisme pada tradisi dan kebiasaan;
(d) takut kehilangan teman, harta dan kehormatan;
6. Keputusan yang benar adalah keputusan menurut akal-pikiran dengan hati yang yang suci;
7. Manusia wajib memajukan ilmu pengetahuan dan berbuat berdasarkan pengetahuan;
8. Akal sehat adalah jalan mencapai tujuan manusia dan pengetahuan adalah kebutuhan akal;
9. Pendidikan akal adalah kebutuhan pokok manusia lebih dari kebutuhan makan dan minum;
10. Ilmu Manthiq atau Logika (Filsafat) merupakan pendidikan tertinggi bagi akal;
11. Orang yang paling baik adalah orang menghidup-hidupkan perkataan orang yang bijaksana dan ilmuwan.
12. Kebahagiaan dunia dan akhirat harus dicapai secara profesional (tidak serampangan);
13. Tidak benci kepada orang yang berbeda pendapat;
14. Orang yang cerdas adalah:
(a) orang yang kreatif;
(b) selalu berusaha mencari jalan keluar dari penderitaan, dan
(c) selalu ingat kepada Allah.


Muhammadiyah Generasi Awal


Muhammadiyah akhirnya berkembang cukup cepat, yang kemudian tidak hanya Ahmad Dahlan yang mengembangkannya, namun banyak tokoh terpandang pada waktu itu juga turut membesarkan "bayi" Muhammadiyah, mereka itulah yang boleh disebut generasi awal Muhammadiyah. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Mas Mansur dan H. Hadjid. Dapat disimpulkan bahwa gerakan Muhammadiyah pada awal berdirinya bergerak dalam bidang Tabligh dan Amal. Tabligh pada waktu itu adalah sebagai upaya membangun kesadaran baru masyarakat yang lebih rasional. Amal dimaknai sebagai bentuk implementasi atas kepercayaan kepada Tuhan (tauhid) dan kepedulian terhadap masyarakat.
Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam tidak hanya mencakup bidang kewajiban tertentu seperti shalat, puasa, zakat dan haji namun juga bersinggungan dalam semua aspek kehidupan. Gerakan ini menolak pendekatan terpisah-pisah terhadap agama dan menghindari pembatasan Islam dalam kategori atau wilayah sempit. Sebaliknya, para teoretisi Muhammadiyah menyokong pendekatan yang lebih holistik terhadap agama yang melibatkan Islam dalam kehidupan seseorang. Hadjid sebagai salah satu pimpinan Muhammadiyah dekade awal mengkritisi orang-orang Islam yang hanya mendiskusikan soal-soal Halal dan Haram. Ia mencemooh pengakuan orang yang percaya bahwa adalah saatnya berkonsentrasi pada ibadah, dan lebih baik melupakan isu-isu sosial karena dunia ini sudah sangat tua. Pemimpin Muhammadiyah sebaliknya percaya bahwa salah satu kewajiban penting seorang muslim ialah melayani masyarakatnya. “Urusan Dunia” menurut literatur Muhammadiyah memiliki posisi yang sama pentingnya dengan rukun Islam. Penggunaan bahasa daerah dalam Khutbah Jum’at tidak terlepas dari ide pembaharuan Muhammadiyah yang pada waktu itu sangat ditentang oleh kaum tradisionalis. Hadjid juga yang kemudian bependapat bahwa wajib bagi umat Islam untuk mencari pengetahuan tentang dunia agar dapat hidup bahagia.
Mas Mansur juga menyadari bahwa umat Islam dalam kondisi terbelakang, sehingga beliau menyatakan bahwa orang Islam berhak untuk mencapai kebahagiaan materiil dan menghindari kemiskinan. Mas Mansur mengkritik para ulama yang tidak menyadari ketebelakangan umat Islam yang diakibatkan oleh persepsi yang keliru terhadap ajaran Islam, dimana mereka banyak yang menganjurkan untuk tidak memikirkan masalah dunia dan berkonsentrasi pada kehidupan akhirat, sehingga banyak terjadi kemelaratan dan bentuk kepasrahan terhadap nasib, yang sesungguhnya tidak diajarkan oleh agama mereka. Analisis Mas Mansur tersebut cukup rasional, dan sangat memahami bahwa umat Islam dalam melakukan usaha sosial dan keagamaan membutuhkan uang (dana) untuk merealisasikannya, sehingga peningkatan ekonomi harus diberikan prioritas tinggi agar kekayaan yang didapat bisa digunakan untuk kebaikan dan menolong orang lain.

Muhammadiyah Dan Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara

Sejak kelahirannya Muhammadiyah berkomitmen pada upaya demi tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia, dengan melakukan pendidikan dan aktifitas sosial bagi rakyat Indonesia. Kemiskinan ilmu pengetahuan mengakibatkan bangsa Indonesia pada waktu itu tidak paham bagaimana untuk membalik kondisi bangsa. Upaya tersebut terus dilakukan sebagai contoh, bahwa Ahmad Dahlan juga aktif dalam perkumpulan Budi Oetomo dan Serikat Islam. Pendekatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda waktu itu tidak secara frontal namun, berusaha ‘mencuri’ sebanyak-banyaknya manfaat dari Belanda dalam hal metodologi pendidikan.
Dari rahim Muhammadiyah akhirnya lahir tokoh-tokoh besar yang berkontribusi dalam proses kemerdekaan Indonesia, ambillah contoh Jendral Sudirman. Jendral Sudirman adalah kader Muhammadiyah yang dididik melalui kepanduan Hizbul Wathan, yang menjadi Panglima Besar dalam peperangan melawan Belanda. Ki Bagus Hadi Kusumo, salah satu anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada waktu itu sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Dan masih banyak tokoh Muhammadiyah yang juga tidak kalah kontribusinya dalam menentukan arah bangsa.
Kontribusi Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa tidak berhenti sampai pada masa kemerdekaan, namun dengan segala potensinya Muhammadiyah turut memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi juga budaya. Sehingga sampai saat ini Muhammadiyah telah banyak memiliki lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, rumah singgah, dan amal usaha lainnya.

7.PERIODESASI KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH

Periodesasi kepemimpinan Muhammadiyah adalah setiap 5 tahun. Periodesasi kepemimpinan biasanya dalam hubungan Muhammadiyah dengan politik, yaitu :
Zaman penjajah
Tahun 1912-1923, sebagai perintis KHA Dahlan sianggap sebagai pahlawan Nadjidal.
Tahun 1923-1933 KH Ibrahim, dalam Muhammadiyah berkembang majlis Tardik.
Tahun 1927, NA dan Pemuda Muhammadiyah didirikan.
Tahun 1932-1936 Kh Hisam, ada istilah Multamar yaitu pertemuan tingkat nasional , ada 3 kali.
Tahun 1937-1944 KH Mansyur.
Tahun 1944-1953 Ki Bagus Hadi Kusumo
Tahun 1953-1959 KH AR Sutan Mansyur.
Tahun 1959-1962 KH Ahmad Badowi.
Tahun 1968-1871 KH Faqih Usman.
Tahun 1971-1990 KH AR. Fakhruddin
Tahun 1990-1995 KH Ashar Bashir, MA
Tahun 1995-2000 H.Dr Amin Rais
Tahun 2000-2005 Prof.Dr Syafi’i Ma’arif
Tahun 2005-…… Din Samsudin


8.KHITTAH MUHAMMADIYAH

KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
( Keputusan Mu’tamar ke 40 di Surabaya )


I.PENDAHULUAN

Sebagaimana telah ditegaskan dalam Matan Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah, bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan belerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi “.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan pedoman yang berisi arah, kebijakan dan langkah-langkah yang harus ditempuh sehingga usaha yang dilakukan itu benar-benar dapat mewujudkan cita-cita yang diidamkan. Pedoman itu lebih diperlukan karena dalam perjalanan hidupnya, Muhammadiyah senantiasa menghadapi berbagai macam persoalan dan mengalami situasi yang berubah-ubah. Tanpa pedoman dapat dipastikan akan terjadi kesimpangsiuran perjuangan serta keragu-raguan dalam menghadapi situasi yang selalu berubah itu. Pedoman itulah yang dalam Muhammadiyah dikenal dengan istilah “ Khittah Perjuangan “.
Dalam perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa, telah beberapa kali ditetapkan Khittah Perjuangan. Ynang terakhir kalinya adalah Khittah Perjuangan Keputusan Mu’tamar Muhammadiyah ke 40 di Surabaya. Dengan ditetapkannya Khittah Perjuangan oleh mu’tamar Muhammadiyah yang ke 40 itu tidak berarti bahwa khittah-khittah perjuangan yang telah ditetapkan sebelumnya lantas menjadi tidak berlaku laki. Dalam sejarah kehidupan Muhammadiyah, Khittah-khittah perjuangan yang telah ditetapkan itu tidak pernah dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini tentu saja sepanjang materi dari khittah-khittah Perjuangan tidak bertentangan dengan yang ditetapkan kemudian.
Dalam Khittah Perjuanagn Muhammadiyah Keputusan Mu’tamar ke 40 sesuai dengan persoalan dan situasi yang sedang dihadapi dan diperjitungkan akan dihadapi oleh Muhammadiyah, ditonjolkan kembali hakekat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam serta hubungan dengan lapangan yang telah dipilihnya, yaitu masyarakat. Disamping itu juga ditonjolkan hubungan Muhammadiyah dengan masalah politik dan ukhuwah Isalmiyah.
Berdasarkan pendirian terhadap masalah-masalah yang ditonjolkan ituy, akhirnya Khittah Perjuangan itu menggariskan program jangka pendek yang harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh segenap warga Muhammadiyah.

Program jangka pendek itu adalah sebagai berikut :
1.Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia dan menjadi teladan yang baik di tengah masyarakat.
2.Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan dan kesulitan kehidupan masyarakat.
3.Menempatkan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai pusat gerakan untuk melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta disegala bidang kehidupan di Negara Republiuk Iandonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

II.HAKEKAT MUHAMMADIYAH

Dalam proses perjuangan untuk mencapai cita-cutanya, Muhammadiyah itu tidak berada dalam suasana kehampaan. Melainkan berada dalam suatu situasi yang selalu berkembang dan berubah – ubah. Dalam menghadapi dan melalui situasi yang serupa itu, Muhammadiyah tidak boleh brlomba-lomba dan terseret oleh situasi, melainkan harus tetap berpegang teguh pada kepribadian dan pandangan hidupnya sendiri. Dengan pandangan hidupnya itulah Muhammadiyah harus mampu memperkembangkan situasi yang dihadapi ke arah tujuan dan cita-citanya.
Dalam pandangan hidup Muhammadiyah itu secara gambkang telah diperjelas hakekat Muhammadiyah yang tidak lain adalah gerakan Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Disamping itu dijelaskan tentang pandangan Muhammadiyah terhadap agama Islam , dasar-dasar dalam mengamalkan ajarannya sertatekad Muhammadiyah untuk mengamalkan ajaran Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah duniawiyah.

III.MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT

Seperti telah ditegaskan dalam Matan Keyakinan dan cita-cita hidup bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan yang berasas Islam bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sesuai dengan cita-cita itu, bagi Muhammadiyah masyarakat adalah merupakan lapangan dan area geraknya, yang secara sunguh-sungguh akan diperkembangkan ke arah kehidupan yang sejahtera naungan ridho illahi. Dalam memperkembangkan masyarakat ke arah kehidupan sejahtera itu Muhammadiyah tekah bertekad untuk menggunakan system Dakwah Jama’ah, yaitu proses dakwah yang menggunakan system pendekatan secara langsung kepada masyarakat melalui problema-problema yang tengah dihadapi oleh masyarakat untuk dikembangkan ke arah kehidfupan yang sejahtera.
Di samping itu dengan tetap berotientasi kepada kesejahteraan masyarakat, Muhammadiyah juga bertekad untuk meningkatkan pelaksanaan pola tugasnya seperti yang dirumuskan dalam Anggaran Dasar pasal 4, sehingga kehadiran Muhammadiyah dalam seluruh kehidupan benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.

IV.MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH

Sesuai dengan penegasan allah SWT dan rasulNya, baik dalam Al Qur’an maupun dalam As sunnah tentang pentingnya ukhuwah Islamiyah, maka sebagai gerakan yang berasas Islam, Muhammadiyah tidak jemu-jemu berusaha mewujudkan dan menggalang kerjasama dan persatuan di kalangan umat Islam.
Berbagai bentuk kerjasama harus dapat dibina dan diwujudkan terutama dalam usaha mendakwahkan dan mengamalkan ajaran Islam serta membela kepentingannya. Dalam menggalang dan membina kerjasama ini, sebagai Gerakan Islam yang independent, ditegaskan pula bahwa Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau lembaga lainnya.

V.MUHAMMADIYAH DAN POLITIK

1.Mu’tamar Muhammadiyah ke 40 telah menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisasi dengan dan tidak merupakan affiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.

Penegasan tersebut mengandung pengertian bahwa ;
Dalam melaksanakan amal dan usaha Muhammadiyah tidak memilih hanya satu atau sebagian bidang kehidupan manusia dan masyarakat.
Sasaran amal usaha Muhammadiyah adalah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bagian-bagian dari kelompok masyarakat.
Bidang ketatanegaraan dan atau pemerintah yang juga lazim disebut bidang politik, adalah merupakan salah satu aspek saja dari kehidupan manusia atau masyarakat.
Sebagai organisasi, Muhammadiyah adalah independent dengan pengertian tidak merupakan bagian, tidak mempunyai hubungan organisatoris, tidak merupakan affisiasi dan tidak mempunyai ikatan kelembagaan dengan organisasi lain. Muhammadiyah memiliki otoritas otonom dan berwenang mengatur sendiri rumah tangga dan kaidah-kaidah organisasinya.
2.Penegasan Mu’tamar ke 38 tersebut, yang kemudian berdasarkan Leputusan Mu’tamar ke 40 juga dicantumkan sebagian bagian materi Khittah Perjuangan Muhammadiyah, pada dasarnya merupakan pendirian Muhammadiyah sejak berdirinya pada tahun 1912. Khusus mengenai dakwah yang ada hubunbgannya dengan bidanh ketatanegaraan dan pemerintahan seringkali timbul masalah yang menyangkut “ struktur “ yang menjadi wadah kegiatan tersebut. Jadi masalah politik dalam Muhammadiyah tidak terletak pada masalah Muhammadiyah melaksanakan dakwak di bidang ketatanegaraan dan pemerintahan atau tidak.
3.Hal-hal yang menyangkut “ struktur “ organisasi Muhammadiyah menunjukkan sifatnya fleksibel. Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Majlis Pembina Lesehatan Ummat dan Majlis Tabligh telah beberapa kali mengawali mengalami perubahan fungsi dan srukturnya. Demikian pula Badan yang diserahi tugas untuk melaksanakan fungsi dakwah di bidang ketatanegaraan dan pemerintah juga telah mengalami beberapa kali perubahan. Namun, badan-badan itu, kalau dibentuk senantiasa merupakan bagian struktural dari Muhammadiyah.
4.Periodesasi Hubungan Muhammadiyah dengan Politik
Tahun 1912 – 1926
Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 dinyatakan bukan sebagai organisasi politik. Namun tidak berarti anggotanya tidak mempunyai aspirasi politik sama sekali. Pada periode ini beberapa diantara anggota Muhammadiyah menjadi anggota dan aktif di SI / PSSI, Komite Tentara Nabi Muhammad, Budi Utomo, dll. Muhammadiyah tidak pernah menentukan sikap resmi terhadap keterlibatan para naggotanya itu. Karena hal itu tidak atau belum menjadi masalah dalam Muhammadiyah.
Tahun 1927 – 1959
Pada tahun 1927, PSSI menetapkan disiplin organisasi, bahwa anggota PSSI dilarang merangkap keanggotaan dengan Muhammadiyah. Keputusan itu tidak terlalu berarti karena Muhammadiyah sedang dalam masa perkembangan sedang PSSI sedang berada dalam masa surut. Karena sering mengalami perpecahan. Pada periode ini Muhammadiyah memantapkan diri sebagai organisasi Islam untuk amal, namun tidak menentukan sikap resmi terhadap anggota yang melibatkan diri atau menjadi anggota partai politik.
Pada tahun beberapa Cabang PSSI tidak pernah puas dengan kebijaksanaan Pimpinan Pusatnya mengenai disiplin organisasi terhadap anggota Muhammadiyah, merintis berdirinya partai baru bernama PRII. Namun maksud itu tidak pernah terealisir.
Tahun 1938 – 1942
Pada tahun 1938 para pemuka JIB dan Muhammadiyah berhasil mendirikan PII ( Partai Islam Indonesia ). Meslipun banyak anggota Muhammadiyah melibatkan diri dalam kegiatan partai itu, namun Muhammadiyah tidak pernah menetapkan sikap resmi terhadap eksistensi partai itu. Dalam bidang Tanwir pada tahun 1938 diambil keputusan mengizinkan KHA Mansyur, waktu itu ketua PB Muhammadiyah untuk menjadi salah seorang anggota pimpinan PII. PII tidak berusia panjang karena keburu pendudukan tentara Jepang di Indonesia.
Tahun 1942 – 1945
Muhammadiyah bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya mendirikan MIAI ( Majlis Islam A’la Indonesia ) yang kemudian diubah menjadi Masyumi ( Majlis Syura Muslimin Indonesia ). Muhammadiyah tetap tidak merupakan bagian dari majlis itu.
Tahun 1945 – 1960
Pada tahun 1945 Masyumi dinyatakan sebagai Partai Politik. Muhammadiyah menyatakan diri sebagai anggota istimewa. Hanya dengan Masyumi itulah Muhammadiyah dalam sejarahnya menyatakan diri sebagai struktural dari partai politik. Hal ini dapat dipahami karena pada tahun 1946 dalam Kongres Muslimin Indonesia Masyumi diikrarkan sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Satu demi satu unsur-unsur politik dalam Masyumi memisahkan diri lagi. Yang mula-mula adalah PSII kemudian disusul oleh PERTI dan NU. Pada tahun 1960, atas perintah Presiden Soekarno, Masyumi membubarkan diri. Sebelumnya dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1959, Masyumi menanggalkan institusi keanggotaan istimewa, dengan demikian keanggotaan Muhammadiyah di dalam Masyumi dinyatakan tanggal.
Tahun 1960 – 1965
Periode ini adalah masa sulit bagi Muhammadiyah. Terdapat usaha dari beberapa Parpol, termasuk NU untuk menghapuskan eksistensi Muhammadiyah dengan dalih sebagai tempat bekas-bekas anggota partai terlarang masyumi. Pimpinan pusat menetapkan strategi lampu hijau. Di samping itu terdapat usaha untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, tapi tidak pernah berhasil.
Tahun 1966-1968
Pemerintah menyatakan Muhammadiyah sebagi Ormas yang mempunyai fungsi Politik Riil, dan berhak mempunyai wakil-wakil di lembaga politik. Pada periodeinilah Muhammadiyah secara resmi mempunyai wakil-wakil di lembaga legislatif. Pada periode ini terdapat usaha-usaha untuk membentuk partai politik Islam baru sebagai wadah bagi orang-orang lain yang aspirasi politiknya belum tertampung dalam parpol yang ada. Berhubung dengan adanya program penyederhanaan jumlah partai politik dan ormas, maka Muhammadiyah dihadapkan untuk memilih hanya satu dari tiga alternatif :
-Muhammadiyah sebagai partai politik.
-Menghidupkan kembali partai Masyumi.
-Bersama-sama dengan Ormas Islam lainnya membentuk parpol baru.
Akhirnya yang terealisir adalah alternatif ke-3 dengan membentuk Partai Muslimin Indonesia.Dengan terbentuknya Partai baru ini Muhammadiyah masih tetap memiliki independensinyaKomitmen yang dibuat adalah bahwa partai tersebut akan merupakan tempat untuk menyalurkan aspirasi polotik anggota Muhammadiyah.

Pada tahun 1969 oleh Sidang Tanwir ditetapkan Khittah Perjuangan Muhammadiyah yang menyatakan :

1.POLA DASAR PERJUANGAN
Muhammadiyah berjuang untuk mencapai fungsi / mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup, yang bersumber pada ajaran Islam.
Dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammad Rasulullah saw, adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup tersebut.
Dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar seperti yang dimaksud harus dilakukan melalui 2 ( dua ) saluran / bidang secara simultan :
saluran politik kenegaraan ( politik praktis )
saluran masyarakat
Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar seperti yang dimaksud diatas, dibuat alatnya masing-masing yang berupa organisasi :
-untuk saluran / bidang politik kenegaraan dengan organisasi politik ( praktis ).
-Untuk saluran / bidang masyarakat dengan organisasi non partai.
-Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan Islam dan -Amar Ma’ruf nahi Munkar Dalam Bidang Masyarakat. Sedang untuk perjuangan dalam bidang politik kenegaraan ( politik Praktis ), Muhannadiyah membentuk satu Parpol di luar organisasi Muhammadiyah.
-Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah merupakan obyeknya dan wajib membunanya.
-Antara Muhammadiyah dan Partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai ideoligis.
-Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu.
-Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan , terutama jabatan Pimpinan antar keduanya demi tertibnya pembagian pekerjaan ( spesialisasi ).

2.PROGRAM DASAR PERJUANGAN
Dengan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepional secara operasional dan secara konkrit, riil bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berpancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur sejagtera, bahagia , materiil dan spirituil yang diridhoi Allah SWT.
Tahun 1971 sampai sekarang
Mu’tamat Muhammadiyah le 38 di Ujung Pandang telah menegaskan kembali kaitannya Muhammadiyah dengan fungsi politiknya sebagaimana tercantum pada angka 1 diatas. Ketetapan Mu’tamar itu pada dasrnya merupakan penyesuaian Khittah Perjuangan 1969 dengan perkembangan pilitik dengan pengertian bahwa :
Sebagai Gerakan Islam, Muhammadiyah berpendirian bahwa Islam mencakup seluruh bidang dan lapangan d\hidup manusia dan masyarakat. Muhammadiyah lebih menitik beratkan pada “cara” sebagaimana ditetapkan dalam kepribadian Muhammadiyah.
Khittah Perjuangan 1969, di dalam hal adanya dan hubungannya dengan parpol tidak relevan dewngan sistem politik Indonesia yang berlaku sekarang. Masalahnya sekarang, bagaiman mekanisme fungsi politik Muhammadiyah tidak merubah citra Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam.
5.Fungsi Politik
Fungsi Politik dalam rangka ikut input bagi sistem politik terdiri :
-Political Sicialization ( Pendidikan Politik ).
-Political Recruituent ( Pembinaan Pameran Politik ).
-Interest articulation ( Memadukan Kepentingan dan pendapat politik ).
-Interest aggregation ( Menyalurkan pendapat/kepentingan politik ).
-Political Communication ( Komunikasi Politik ).
Untuk Muhammadiyah, maka fungsi sosialisai menjadi tugas Majlis Pendidikan Pengajaran dan kebudayaan, disamping Majlis Tabligh.
Fungsi Recruitan dan Interest articulation menjadi tugas Biro Hikmah. Sedang agregasi dan komunikasi dipegang langsung oleh Pimpinan Persyarikatan sendiri.
Biro hikmah dalam melaksanakan fungsinya menyelenggarakan antara lain :
-Rapat-rapat Pimpinan Biro Hikmah untuk menyiapkan bahan-bahan bagi kepentingan Pimpinan Persyarikatan.
-Seminar, diskusi, dll, bentuk studi untuk memperoleh input dari masyarakat.
-Mengadakan pembinaan kader bagi anggota Muhammadiyah yang mempunyai bakat dan minat di bidang politik.
-Mengadakan komunikasi dengan naggota-anggotanya, politik, parpol, dan organisasi politik lainnya,



BAB III
IDENTITAS MUHAMMADIYAH


1.MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM

Tidak dapat dipungkiri Muhammadiyah lahir atas ‘pembacaan’ kreatif atas pesan suci dalam Al-Qur’an oleh pendirinya. Namun dalam memahami Islam, Muhammadiyah tidak memahaminya dalam bentuk yang formalistis, namun Islam yang dipahami Muhammadiyah adalah Islam yang Integral dan tidak mempersempitnya, sebagaimana akhir-akhir ini sedang marak terjadi. Bagaimana Muhammadiyah menempatkan akal sebagai ‘pisau’ bedah ajaran-ajaran Islam untuk diaplikasikan dalam dataran praksis, cukup menunjukkan bagaimana pandangan Muhammadiyah secara umum.
Konteks keber-Islaman orang Muhammadiyah tidak hanya berkutat pada ranah ibadah mahdhah, namun merambah pada bagaimana dengan Islam ini dapat terbentuk masyarakat yang adil dan makmur, disinilah tujuan Muhammadiyah yaitu mengusahakan terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam yang sebenarnya bukanlah ketika seluruh rakyat Indonesia atau umat manusia ini beragama Islam, namun Islam dalam bentuk yang membumi atau sering disebut sebagai ‘rahmatan lil alamin’. Kesalehan dalam ranah ritual dan sosial dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah hal yang perlu untuk dipilih mana yang lebih tinggi, namun dua hal tersebut dipandang sebagai dua sisi sebuah kesalehan.
Perserikatan Muhammadiyah sudah dikenal luas sejak beberapa puluh tahun yang lalu , oleh masyarakat Internasioanal , khususnya oleh masyarakat 'alam Ialamy. Nama Muhammadiyah sudah sangat akrab di telinga masayarkat pada umumnya .Adapun arti nama muhammadiyah dapat dilihat dari dua segi , yaitu arti bahasa atau etimologis dan arti istilah atau terminologis.

Arti Bahasa atau estimologis :
Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab "Muhammad" yaitu nama nabi atau Rasul yang terakhir.Kemudian mendapatkan "ya nisbiyah "yang artinya menjeniskan .Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikut Muhammad. Yaitu semua oraqng yang menyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir .Denga demikian siapapun yang beragama Islam maka dia adalah orang Muhammadiyah , tanpa dilihat atau dibatasi oleh perbedaan Organisasi, golongan bangsa , geografis , etnis , dsb.

Arti Istilah atau terminologis :
Muhammadiyah adlah gerakan Islam , Dakwah AmarMakruf Nahi Munkar , berasa Islam dan bersumber Al Qur'an dan Sunah didirikan oleh KHA . Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan tanggal 18 November 1912 M di kota Yogyakarta .Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah denga maksud untuk berta'faul (berpengharapan baik )dapat menconytoh dan meneladani jejeak perjuangan nabi Muhammad SAW. dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata - mata demi terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemulian hidup umat Ilam sebagai realita.

2.MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN DAKWAH ISLAM

Dakwah secara etimologis berarti ajakan, seruan atau himbauan, namun secara termonologis H.A. Rosyad Sholeh memberikan gambaran bahwa Dakwah adalah proses aktifitas merubah suatu kondisi kepada kondisi lain yang lebih baik, atau dari suatu kondisi yang sudah baik kepada kondisi yang lebih baik lagi, yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan berencana, sehingga kegiatan dakwah bersifat multidimensional, dan mencakup sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang luas. Selain hal tersebut, yang juga perlu dicatat adalah dalam usaha ber-Dakwah maka diperlukan bentuk manajerial yang rapi dan terorganisir, maka dari situlah diperlukan pelembagaan, ayat yang sering disebut-sebut adalah QS. Ali Imran : 104 “ ...harus ada diantara kamu sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka inilah yang sesungguhnya beruntung”. Ayat inilah yang menjadi selain menjadi landasan berdirinya Muhammadiyah juga sebagai identitasnya yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dua pointer tersebut juga kemudian memunculkan metodologi dalam berdakwah dengan menggerakkan dan mendirikan amal usaha. Dakwah dalam dataran individu bertujuan untuk membangun kesadaran dalam beragama, dan dalam level sosial maka dakwah berkonsentrasi pada perbaikan kehidupan sosial bermasyarakat, dengan berbagai aksi riil.
Untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik, Muhammadiyah dan Aisyiyah telah mempunyai amal usaha yang tersebar di masyarakat dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan. Untuk meningkatkan kualitas usaha tersebut, telah dimiliki pula konsep dakwah jamaah dan dakwah kultural, yang menggunakan wawasan dan bentuk budaya sebagai media dakwah.
Dari tema Muktamar Aisyiyah Ke-45 nanti, secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan masyarakat yang akan dituju adalah terbentuknya masyarakat madani. Hal ini sinkron dengan pencerahan peradaban yang akan dilakukan Muhammadiyah, karena dalam konsep masyarakat madani mempunyai karakteristik yang memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, pluralisme, dan transparansi. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dari sebuah peradaban yang luhur.
Untuk mewujudkan masyarakat madani, tentu bukan pekerjaan yang ringan, karena di era globalisasi ini terjadi gesekan dan tarik ulur antara nilai agama dengan budaya, sebagai dampak negatif dari kemajuan informasi dan komunikasi,yang sulit dibendung.
Di samping faktor eksternal, dari sisi internal, tampaknya perlu ada pembenahan agar tercipta pemahaman terhadap pemikiran, langkah dan gerak untuk mewujudkan tujuan persyarikatan.
Muhammadiyah dengan konsep dakwah jamaah dan dakwah kulturalnya, sesungguhnya telah mempunyai alat untuk membangun masyarakat madani di Indonesia. Sayangnya, konsep itu masih terhenti pada tataran teoritis, karena adanya polemik internal yang berkisar pada "status budaya lokal itu termasuk dalam kategori TBK (takhayul, bid'ah, dan khurafat) atau tidak. Hal semacam ini menimbulkan kegamangan pada sebagian anggota persyarikatan atau organisasi otonomnya, untuk melakukan dakwah kultural,yang menggunakan media budaya lokal untuk membumikan ajaran Islam.
Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup semua aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam kombinasi berbagai penamaan dan penyifatan, sejalan dengan sasaran dan tujuannya yang beragam, yang telah mengalami banyak perubahan dalam upayanya untuk terus memberikan respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata dalam pengertian yang sempit, tetapi mengambil peran dalam semua aspek perkembangan masyarakat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: “sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan yang semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini tidak berpolitik praktis.
Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).

3.MUHAMMADIYAH SEBAGAI TAJDID / REFORMASI

Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional dalam memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai gerakan tajdîd.
terwujud. (24)
Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’ân dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berislam sungguh sangat penting digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi dan akulturasi budaya Barat yang sekuler dan rendahnya kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia.
Tajdîd secara harfiah memang mempunyai arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut untuk selalu mampu membuat langkah-langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).
Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan tuntutan masa kini; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) terutama anak-anak dan perempuan, dan sebagainya. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.
Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak dalam pergumulannya dengan persoalan historisitas keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara mencermati kembali makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau kontekstualisasi dengan persoalan-persoalan sosial-historis keberagamaan Islam kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran Keagamaan”).
Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.
Muhammadiyah sebagaimana diketahui adalah pelopor pembaharuan, baik dalam kehidupan beragama juga dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga gerakan Tajdid (pembaharuan) sejak dari awal sudah menjadi identitas walaupun tidak secara eksplisit dikatakan demikian.
Muhammadiyah selalu terbuka terhadap kemajuan namun juga memberikan perhatian yang sama dalam hal pemurnian ajaran keagamaan. Rasionalitas yang pada masa awal Muhammadiyah digunakan sebagai senjata dalam ‘membongkar’ praktik keagamaan umat Islam pada waktu itu yang cenderung bersifat ‘mistis’. Namun Rasionalitas juga yang pada masa awal menjadi alasan untuk terbuka terhadap metodologi-metodologi baru bahkan pemikiran-pemikiran yang baru dan fenomenal pada masanya. Sehingga Muhammadiyah sering juga disebut sebagai Islam Modernis atau Islam Reformis, karena Muhammadiyah berani membuka kembali pintu ‘ijtihad’ yang lama tertutup rapat (dalam penjelasan MKCH).
Akhirnya sampai hari ini Tajdid tetap menjadi icon gerakan Muhammadiyah dalam hal pemurnian dan pembaharuan. Apalagi Islam ditantang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat kekinian yang membutuhkan peran akal dalam memeras daya kreatif seorang insan, maka dengan Tajdid diharapkan Islam lebih membumi lagi. Lebih jelas lagi Muhammadiyah menganggap bahwa Tajdid merupakan salah satu watak dari Ajaran Islam.
Disamping itu Munir Mulkhan berpendapat Muhammadiyah memiliki 5 prinsip dalam bergerak yaitu
-gerakan Islam;
-gerakan Sosial;
-gerakan Dakwah;
-gerakan Tajdid;
-gerakan Ilmu.










HASIL DISKUSI DAN WAWANCARA DENGAN RANTING MUHAMMADIYAH PANGENREJO, PURWOREJO.


1)Bagaimana sejarah berdirinya Muhammadiyah di daerah Pangenrejo ?
Jawab :


Muhammadiyah mempunyai pengertian baik secara bahasa maupun secara istilah. Secara bahasa, Muhammadiyah berasal dari kata “ muhammad” yang artinya orang yang teruji dan “yah” yang artinya pengikut, golongan. Jadi pengertian Muhammadiyah secara bahasa adalah pengikut Nabi Muhammad saw. Sedangkan secara istilah, Muhammadiyah adalah perserikatan / gerakan Islam yang diikrarkan oleh LHA Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M / 18 Dzulhijahg 1330 H di Yogyakarta.
Awal masuknya Muhammadiyah di daerah Pangenrejo yaitu pada tahun 2000 dari alumni Muhammadiyah mengadakan pengajian-pengajian di masjid dan dari rumah-ke rumah.
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah di daerah Pangenrejo diantaranya ;
-Q.S Al Imron ayat 104 untuk amal ma’ruf mengajak yang baik-baik.
-Ketidakmurnian ajaran-ajaran Islam di lingkungan Pangenrejo.
-Pendidikan agama.
-Adanya program Kristenisasi.
Pada awal mulanya, masuknya Muhammadiyah di daerah Pangenrejo ini belum mendapat sambutan secara baik oleh seluruh masyarakat. Karena masih banyak masyarakat yang menganut agama Islam KTP atau agama Islam mengikuti organisasi Islam lain seperti NU. Sehingga cara mensosialisasikan di masyarakat tidak secara langsung melainkan sedikit demi sedikit. Yaitu dengan mengikutu yasinan kemudian terus menerus berganti dengan membaca ak qur’an, kemudian ditingkatkan lagi dengan kajian-kajian Islam.
Dalam Muhammadiyah seperti pengertian secara bahasa yaitu Pengikut Nabi Muhammad saw, maka dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara dan sikap yang ditunjukkan / diberikan oleh Nabi. Jika nabi tidak mengajarkan, maka kita tidak usah menambah-nambah. Dengan kata lain mengikuti jejak Nabi yang sesuai dengan Hadist. Sedanglan yang berkembang di masyarakat Pangenrejo adalah organisasi Islam NU yang berpegang pada mazhab.
Contoh lain misalnya dalam sholat, dalam NU menggunakan doa Qunut, sedangkan dalam Muhammadiyah tidak, karena doa Qunut hanya dipakai jika ada peristiwa tertentu saja ( hal ini mengikuti Nabi ). Kemudian dalam NU ada puki-pukian doa setelah selesai sholat, sedangkan Muhammadiyah tidak pernah karena Nabi tidak pernah puji-pujian. Dan dalam hadist tidak ada puji-pujian yang ada dzikir.
Kebiasaan lain yang berkembang di masyarakat Pangenrejo adalah masih ada kepercayaan peringatan 3 hari, 7 hari setelah kematian / meninggalnya seseorang dengan mengadakan yasinan. Padahal dalam Islam hal itu merupakan bid’ah / mengada-ada., hal tersebut ada pada agama Hindu. Sedangkan masuknya Muhammadiyah di daerah Pangenrejo bertujuan untuk meluruskan apa yang belum lurus tentang pelaksanaan ibadah sesuai dengan ajaran agama Islam.


2)Bagaimanakah struktur organisasi Muhammadiyah di daerah Pangenrejo ?
Jawab :


Struktur Organisasi Ranting Muhammadiyah di daerah Pangenrejo adalah :
1. Ketua : Drs. Gunardi
2. Sekretaris : Pangatun
3. Bendahara : Tumikat, Spd
4. Tabligh : Sartu AM, Spdi
5. Seksi-seksi
- Seksi Pendidikan : Sukirman, Spd
- Seksi Kesehatan : Mukarfah
- Seksi Kesejahteraan Sosial : Sajio, BA
- Seksi Pembina Kader : Sunardi, Spd
- Seksi Ekonomi : Suprihono, Spd.


Adapun tugas-tugas dari masing-masing pengurus adalah :
1.Ketua, tugasnya bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan.
2.Sekretaris, tugasnya bertanggungjawab di semua bidang yang berhubungan dengan kesekretariasan.
3.Bendahara, tugasnya bertanggungjawab tentang segala bentuk keuangan yang ada dalam organisasi.
4.Tabligh,tugasnya meliputi :
- Pembinaan keluarga sakinah
- Penyusunan pembinaan-pembinaan.
- Dakwah lain hal
- Peningkatan kualitas mubaligh.
- Pengadaan mubaligh-mubaligh baru.
- Dakwah melalui media massa dan radio PTDI
- Pembinaan mualaf
5. Seksi Pendidikan, tugasnya meliputi :
- bidang informal dengan pengajian remaja / anak-anak.
- bidang formal untuk guru-guru dan pembinaan budaya Islam untuk anak-anak.
6.Seksi Kesehatan, tugasnya bekerjasama dengan RS PKU Muhammadiyah dan RS BKIS Aisiyah yang ada di Purworejo.
7. Seksi Kesejahteraan Sosial, tugasnya meliputi :
- Pembinaan anak yatim, fakir miskin dengan bekerjasama denan Panti Asuhan Muhammadiyah Purworejo yang terletak di daerah Plaosan Purworejo.
- Santuanan mualaf
- Santunan Kemiskinan bencana alam
8. Seksi Pembinaan Kader, tugasnya meliputi :
- Penyediaan Kader
- Peningkatan Kualitas pemimpin dengan kajian dan penataran.
-Penyiapan instruktur latihan kepemimpinan.
9.Seksi Ekonomi, tugasnya meliputi :
- Kewirausahaan.
- Pendidikan pelatihan tenaga kerja dan koperasi.


3)Apa saja kekuatan dan kelemahan dakwah Muhammadiyah di daerah Pangenrejo ?
Jawab :


Kekuatan :
-Untuk keluarga sakinah mawadah warohmah sebagao pondasi dasar pembinaan awal dari Muhammadiyah.
-Dakwah bin hal.
-Pembinaan kaum mualaf.


Kelemahan :
-Untuk laderisasi kepemimpinan masih ada kesulitan
-Adanya hambatan yaitu kurang percaya diri sehingga dicalonkan menjadi kader tidak mau.
-Kesibukan pribadi masing-masing individu.
-Budaya adat Jawa yang tidak Islami, 1 atau 2 orang ada yang masih sulit untuk meninggalkan -karena takut dijauhi oleh masyarakat sekitar.
-Pemahaman ajaran Islam terlalu sempit / kurang luas sehingga menjadi sulit untuk berdiskusi secara ilmiah.


4)Bagaimana keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di daerah Pangenrejo ?
Jawab :


Keberlanjutan dakwah Muhammadiyah Ranting Pangenrejo diantaranya :
Bisa berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan baik formal dan non formal
Melalui pembinaan kader – kader secara sistematis dam selektif.
Dengan adanya lembaga sosial seperti RS. PJU Muhammadiyah yang terletak di daerah Pangenrejo, merupakan dakwah secara tidak langsung karena yang berobat disana tidak hanya orang Muhammadiyah.